Selasa, 30 Oktober 2012

Guru dan Ramalan McKensey

Oleh : Ibnu Hamad
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud
Dari dua minggu terakhir September 2012 hingga minggu pertama Oktober 2012, ramalan McKinsey & Co banyak menghiasi media massa di Tanah Air. Maklumlah, dalam laporannya bertajuk The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential, McKensey menyebutkan pada tahun 2030 ekonomi Indonesia akan menempati posisi ke-7 Ekonomi Dunia mengalahkan Jerman dan Inggris.
Menurut McKinsey, terdapat sejumlah indikasi Indonesia menjadi negara besar. Untuk 2012 ini, skala ekonomi Indonesia menempati posisi 16 besar dunia dengan pertumbuhan yang relatif stabil, yaitu sekitar 6,5% setiap tahun. Indonesia juga mampu melewati masa krisis ekonomi yang melanda dunia. Indikasi lainnya, Indonesia mampu meningkatkan jumlah investasi asing dalam beberapa tahun terakhir, sebagai misal US$ 20 miliar pada tahun 2011 dan proyeksi sebesar US$ 28 miliar untuk tahun 2012.
Pada tahun 2030 itu perekonomian Indonesia akan ditopang oleh empat sektor utama yaitu bidang jasa, pertanian dan perikanan, serta sumber daya alam. Ekonomi Indonesia juga akan terus tumbuh dengan didorong oleh kekuatan regional. Dalam 15 tahun ke depan, 1,8 miliar orang kelas konsumsi di dunia sebagian besar akan berada di Asia.
Pada saat itu, kata McKinsey pertumbuhan jumlah masyarakat kelas menengah Indonesia juga akan meningkat dari 45 juta orang pada tahun 2012 menjadi 90 juta orang pada 2030. Daya beli mereka juga signifikan karena pendapatan bersihnya diperkirakan sebesar US$ 3.600 per tahun. Terbayanglah, saat itu Indonesia akan menjadi negara yang makmur.
Peran Guru
Banyak kalangan yang optimis dengan ramalan McKensey ini, terutama dari kalangan pemerintah. Namun mereka juga sadar bahwa untuk mencapai kesuksesan itu Indonesia membutuhkan banyak tenaga ahli dan kaum wirausahan.
Kenyataan, hingga tahun 2012 ini Indonesia masih sangat kekurangan tenaga ahli. Indonesia membutuhkan sekitar 25 ribu insinyur dan ribuan teknokrat. Padahal tenaga ahli ini sangat diperlukan untuk mengolah sumber daya alam, mengembangkan pertanian dan perikanan serta melaksanakan usaha di bidang jasa yang menjadi penopang masa depan ekonomi Indonesia seperti dinyakan McKensey di atas.
Tentu saja, para gurulah yang bisa menjawab tantangan, menghasilkan para tenaga ahli tersebut. Kenapa para guru? Sebab kita bicara tahun 2030, bicara soal masa depan. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana menyiapkan tenaga ahli untuk mengelola Indonesia di tahun 2030 tanpa guru. Di tangan para gurulah, mereka yang akan menjadi tenaga ahli itu memperoleh pendidikan dan pengajaran!
Siapakah mereka yang akan menjadi tenaga ahli di tahun 2030 itu? Mereka adalah penduduk Indonesia yang kini berusia antara 5 hingga 20 tahun dimana 99%-nya merupakan murid-murid SD hingga SMA. Tak tanggung-tanggung, jumlah mereka mencapai sekitar 100 juta orang. Sebab, data tahun 2010 menunjukkan bahwa struktur penduduk Indonesia terdiri dari dari yang berusia 0-9 tahun berjumlah sekitar 45 juta; 10-19 tahun sekitar 43 juta; dan 20-29 sekitar 41 juta.
Benar, ada sekitar 100 juta siswa-siswi yang siap dijadikan tenaga ahli guna mengelola Indonesia di tahun 2030. Andaikan kita bisa menghasilkan separuh saja dari jumlah itu, Indonesia akan memperoleh 50 juta tenaga ahli hingga bukan mustahil ramalan McKensey itu bisa menjadi kenyataan. Dan di tangan para gurulah kini harapan itu tergenggam.
Betul, yang kita butuhkan memang tenaga ahli, bukan lulusan SMA apalagi SD. Akan tetapi masa-masa menjadi siswa mulai dari SD hingga SMA bukan saja tidak bisa dilompati begitu saja melainkan pula menjadi kontinum waktu yang sangat penting dalam membentuk karakter, pengembangan landasan pengetahuan, dan penyemaian keterampilan.
Bukankah kita ingat bahwa orang harus belajar membaca, menulis, dan menghitung serta belajar mengenali lingkungannya terlebih dahulu sebelum menjadi sarjana, wirausahawan dan tenaga terampil lainnya. Dan kepada para guru pertama-tama kita semua memempercayakan anak-anak kita.
Kualitas Guru
Betapa strategisnya peran guru dalam membentuk Indonesia yang lebih baik itu, utamanya dari perspektif pengembangan sumberdaya manusia. Meski bukan satu-satu faktor, sejarah membuktikan bahwa guru dalam arti yang seluas-luasnya menjadi unsur yang menentukan bagi keberhasilan sebuah bangsa. Konon, ketika Jepang luluh-lantak setelah dibom atom pada tahun 1945, pertanyaan yang meluncur dari Kaisar Hirohito bukanlah seperti apa dan berapa kerusakan yang terjadi melainkan berapa orang guru yang masih tersisa?
Lantas, berapa guru yang dimiliki Indonesia? Data tahun 2011/2012 menunjukkan jumlahnya diperkirakan 2,9 juta orang. Berdasarkan rasionya dengan murid adalah 1:18. Bandingkan dengan Korea, 1:30 dan Jerman, 1:20. Alhasil dari segi jumlah sesungguhnya sudah memadai, hanya saja harus diakui memang distribusinya tidak merata antara daerah perkotaan dan perdesaan.
Selain masalah distribusi yang disebabkan oleh penerapan otonomi daerah, persoalan kualitas guru juga banyak disoroti. Empat kompetensi: pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional belum sepenuhnya dikuasai secara merata oleh setiap guru kita. Karena itulah peningkatan kualitas guru merupakan hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Pentingnya kualitas guru sering diilustrasikan dengan analogi seperti ini: jika ada seorang dokter yang malpraktek, maka akibatnya hanya mengenai pasien yang ditangani sang dokter dengan resiko tertinggi kematian sang pasien. Tetapi jika seorang guru salah mendidik, maka yang mati bukan hanya akal tetapi hati dan jiwa sang murid. Itupun masih berimbas pada anak keturunannya jika kelak sang murid menjalani kehidupan orang dewasa.
Yang dimaksud dengan peningkatan kualitas guru di sini hendaknya tidak hanya diartikan dengan uji kompetensi guru (UKG). Pada dasarnya setiap guru harus terus menerus menambah kompetensinya masing-masing dari waktu ke waktu. Sedang berlangsung atau tidak UKG, setiap guru sudah sepatutnya mengukur sendiri serta meningkatkan keempat kompetensi dimaksud. Dengan demikian kualitas pendidikan dan pengajaran terus bertambah tiada henti.
Jika peningkatan kualitas berkelanjutan ini terjadi niscaya bukan hanya para murid yang diuntungkan, melainkan pula para orang tua atau wali murid. Kalau para gurunya berkualitas terbaik, tentu mereka tak perlu menambah kegiatan putera-puteri mereka dengan beragam les yang bukan saja menghabiskan waktu sosial anak-anak akan tetapi juga menambah beban biaya dan perhatian bagi para orang tua. Lebih dari itu, guru dengan kualitas terbaik menjamin tercapainya harapan bangsa seperti diramalkan McKensey (*)

Sumber : http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/artikel_hgn

Selasa, 23 Oktober 2012

Guru Non-PNS Tidak Mendapat Perhatian Serius

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementrian Agama, kurang memperhatikan guru non-Pegawai Negeri Sipil (PNS) baik secara kepegawaian, profesi, maupun kesejahteraannya. Padahal sampai saat ini peran guru non-PNS sangat penting dalam pembangunan pendidikan nasional di Indonesia.
Sulistiyo, Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di Jakarta, Selasa (23/10/2012), menjelaskan yang dimaksud guru non-PNS adalah guru non-PNS di sekolah negeri yang biasa disebut guru honorer dan guru non-PNS di sekolah swasta, yang sering dikelompokkan menjadi guru tetap yayasan dan guru tidak tetap. Guru non-PNS itu sampai saat ini secara kepegawaian sama sekali tak dihiraukan. Pangkat dan jenjang karir tak dihiraukan. Bahkan, kesejahtreaannya punjauh dari wajar.
"Walau kerja puluhan tahun, pangkat saja tak punya. Lain halnya, dosen non-PNS sudah diatur pangkat dan golongan/ruangnya," kata Sulistiyo.

Guru honorer ada yang di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Mereka secara kepegawian tak jelas masa depannya dan mereka memperoleh penghasilan yang tidak wajar. Menurut Sulistiyo, kenyataan ini melanggar Pasal 14, yaitu guru harus memperoleh penghasilan diatas kebutuhan minimal dan 39 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yaitu guru harus memperoleh penghasilan yang wajar..

Menurut laporan para anggota Komite III DPDRI dari berbagai provinsi, saat ini seluruh provinsi, seluruh kabupaten dan kota kekurangan guru SD. Kekurangan itu diisi oleh guru honorer. Tugas dan kewajiban mereka sama persis dengan guru PNS. Banyak di antara mereka bekerja dengan baik, bahkan ada yang lebih baik dari guru PNS.
"Sungguh zholim, jika mereka tidak memperoleh perhatian yang wajar, terlebih guru di pendidikan dasar (SD-SMP). Karena dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, dinyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pedidian dasar dan negara wajib membiayainya. Itu artinya, guru sebagai bagian utama dari pendidikan harus dibiayai oleh negara", kata Sulistiyo, yang juga Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia.

Tapi nyatanya, kata Sulistiyo, pemerintah mengabaikannya. Demikian juga guru di sekolah swasta. Dalam pendidikan, sekolah swasta berbeda dengan instansi swasta di lembaga lain yang tidak mengurus pendidikan. Sekolah swasta mempunyai tugas yang sama dalam mencerdaskan bangsa.

Pasal 55 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dinyatakan bahwa pemerintah dan atau pemerintah daerah wajib membantu lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (sekolah swasta). Tetapi kenyataannya jauh panggang dari api. Bahkan, semakin hari semakin jauh, terbukti guru PNS di sekolah swasta (Guru PNS DPK) banyak yng ditarik dari sekolah swasta ke sekolah negeri.

Sulistiyo menyatakan bahwa PB PGRI telah mengirim surat kepada Presiden RI yang ditembuskan ke berbagai pihak terkait per 1 September, agar pemerintah segera menetapkan penghasilan minimal Guru Non-PNS dan mensubsidinya melalui APBN. "Semoga segera terwujud. Jika tidak, PGRI terpaksa akan melaksanakan gerakan organisasi, yang akan diputuskan pada Konkernas PGRI akhir Januari 2013 di Mataram, NTB," ujarnya.

DPD RI tahun 2013 yang akan datang akan membentuk Panitia Khusus Guru, karena banyak sekali persoalan guru yang tak ada tanda-tanda penyelesaian dengan baik.

Sumber : http://edukasi.kompas.com/read/2012/10/23/12223624/Guru.NonPNS.Tidak.Mendapat.Perhatian.Serius?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
 

Jumat, 19 Oktober 2012

Nasionalisme versus Konflik PSSI

Republika/Yogi Ardhi
Nasionalisme versus Konflik PSSI
Suporter Timnas Indonesia di Gelora Bung Karno

Oleh: Abdullah SammyWartawan Olahraga Republika
Konflik organisasi nyaris memecah seluruh jagad sepak bola nasional. Masalah dualisme klub, kompetisi, hingga menjalar ke tim nasional, membuat pemain terjebak dalam situasi konflik.

Beberapa pemain menyatakan tetap memilih tunduk pada aturan klub yang melarang mereka memperkuat tim nasional di bawah kontrol PSSI Djohar Arifin. Beberapa pemain lain terlanjur kecewa dengan ulah PSSI yang awalnya melarang pemain Liga Super Indonesia (ISL) memperkuat Merah Putih.

Namun hawa konflik, keberpihakan, serta dendam tidak dirasakan oleh seorang pemuda bernama lengkap Samsir Alam. Bagi pemuda kelahiran  6 Juli 1992 itu, panggilan negara terlalu berharga untuk sekedar diusik konflik organisasi.

Samsir mengaku tidak ragu untuk memenuhi panggilan timnas sekalipun ribuan kilometer harus dia tempuh dari kota Vise, Belgia, hingga Bantul Yogyakarta. "Saya tidak pernah berpikir konflik apa yang terjadi di tubuh federasi. Itu urusan mereka,” ujar Samsir kepada Goal.

Pemain yang kini merumput di klub Belgia milik keluarga Bakrie, CS Vise, mengungkapkan rasa cintanya mengenakan kostum Merah Putih. "Membela Indonesia adalah kebanggaan yang tak ternilai harganya. Buat timnas, saya akan selalu datang," ujar pemain bertinggi 175 sentimeter itu.

Samsir pun mengaku bahwa dia bersama tiga rekannya di CS Vise selalu siap sedia ketika diminta bertarung menggunakan kostum timnas. "Saya, Alfin, Yandi, dan Yericho akan tetap memenuhi panggilan timnas jika surat dari PSSI telah dikirim ke klub saya," ungkapnya.
Terus Melobi
Lain Samsir, lain lagi Ramdhani Lestaluhu. Gelandang mungil asal klub Persija Jakarta ini mengaku akan mengabaikan panggilan timnas di bawah kontrol PSSI Djohar Arifin. Dia mengaku hanya akan loyal bermain untuk timnas di bawah kepengurusan PSSI-nya KPSI. 

“Saya ikut timnas dimana klub saya bernaung, yakni Persija Jakarta. Kalau Persija Jakarta ikut kompetisi di bawah PSSI versi La Nyalla, maka saya ikut timnas versi tersebut,” ujar Ramdhani lugas.
Sementara koordinator timnas, Bob Hippy, mengungkapkan sekalipun ada pemain yang menolak bergabung ke timnas, masih ada rombongan lain pemain ISL yang menyatakan kesediaannya bermain untuk timnas. Namun, pemain itu masih menunggu izin dari klub sebelum bergabung ke pemusatan latihan di Bantul.
Bob mengaku PSSI terus melobi klub untuk mengizinkan pemainnya bergabung dengan timnas. “Pak Limbong (Berhard Limbong) terus menghubungi klub. Beberapa pemain menyatakan kesediaannya dipanggil timnas, tapi mereka menunggu keluarnya izin klubnya masing-masing,” ujar Bob.

Pelatih timnas, Nil Maizar, enggan berkomentar banyak soal urung bergabungnya sejumlah pemain ISL ke tubuh timnas. Pelatih yang sukses mengantarkan Semen Padang jadi pemuncak Liga Prima Indonesia ini mengaku akan bekerja dengan materi yang ada.
“Kita akan maksimalkan pemain yang ada. Intinya kami akan menyempurnakan dulu materi yang ada dan kemudian memaksimalkannya,” katanya.

Harga Diri Bangsa
Dari  sekitar 40 nama yang dipanggil ke tubuh timnas, dia hanya akan membawa maksimal 23 pemain untuk berlaga di turnamen persahabatan Al-Nakbah Palestina. Nil mengaku kejuaraan di Palestina itu jadi gambaran kekuatan timnas jelang kualifikasi Piala Asia dan Piala AFF 2012 mendatang.

“Di Palestina, tim yang akan bermain sangat tangguh. Ada Irak, Uzbekistan, dan Tunisia. Kita harap dapat tampil baik dan mampu bersaing,” kata Nil

Tim nasional Indonesia sendiri mulai Selasa ini (17/4) akan menggelar latihan perdana di kota Bantul, Yogyakarta. Sejauh ini sejumlah pemain asal pulau Jawa telah datang ke tempat pemusatan latihan. Pemain umumnya datang dari klub Liga Prima Indonesia.

Sekalipun masih mengundang pro-kontra di kalangan pemain, timnas di bawah kepemimpinan Nil Maizar segera akan bertarung membela harga diri bangsa di ajang Al-Nakbah Palestina. Tim ini juga akan menantang klub kelas dunia, Inter Milan, di laga uji coba yang berlangsung pada 24 dan 26 Mei di Jakarta.

Apapun hasilnya nanti, para pemain timnas ini akan mempertaruhkan nama baik Indonesia di dunia internasional. Pertaruhan yang bisa jadi menyertakan seluruh kekuatan terbaik Nusantara, walau sebagian pemain lain memilih mengabaikannya.
Redaktur: Didi Purwadi
Reporter: Abdullah Sammy